Warga sejumlah desa di Pulau Mangoli, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara menggelar aksi menolak 10 izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Mangoli, Kamis (28/8/2025).

Adapun beberapa tuntutan yang disampaikan dalam aksi tersebut, yakni cabut 10 izin usaha pertambangan di Pulau Mangoli, wujudkan agraria sejati di Pulau Mangoli, cabut PT Aneka Mineral Utama di Pulau Mangoli, BPMD segera selesaikan tapal batas Desa Kou dan Waitamela.

Selain itu, massa aksi juga meminta Bupati Kepulauan Sula dan DPRD harus mengambil sikap menolak izin tambang sekaligus mengesahkan peraturan daerah (Perda) tanah adat di Pulau Mangoli.

Koordinator aksi, Zulfikar Makian dalam orasinya menyampaikan, kerusakan alam dan konflik agraria adalah salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat Indonesia, khusunya masyarakat Maluku Utara, Kepulauan Sula, dan Pulau Mangoli.

“Tanpa kita sadari, terjadi kerusakan alam di lingkungan kita sehari -hari semua karena ulah tangan manusia,” kata Zulfikar.

Untuk itu, sebagai orang-orang yang berpikir sudah seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama untuk menjaga dan melestarikan alam di Kepulauan Sula khususnya di Pulau Mangoli.

“Kami .berharap kepada seluruh masyarakat Kepulauan Sula khususnya warga Pulau Mangoli untuk mari bersama-sama kita tolak pertambangan,” ungkapnya.

Sementara Pino Duwila, massa aksi lainnya menyebut kehadiran pertambangan sangat berdampak bagi perkebunan warga seperti kelapa, cengkih, pala, coklat, sagu dan lain-lain.

“Jika pertambangan beroperasi, maka hasil alam yang masuk dalam lingkaran tambang akan hilang. Sementara identitas masyarakat Pulau Mangoli adalah petani dan nelayan,” ujar dia.

Menurutnya, langkah yang diambil Pemerintah Pusat dan Pemrov Maluku Utara dengan mengizinkan 10 IUP ini sangat membawa dampak buruk yang besar terhadap ruang hidup masyarakat Pulau Mangoli.

“Untuk itu, ia meminta kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Maluku Utara agar segera mencabut 10 izin pertambangan di di Pulau Mangoli,” pungkasnya.(ham)