Para Pemain Tanah di Kawasan PSN
Kawasan industry IWIP diberi ruang kelola mencapai 4.027,67 hektar. Meski begitu di lapangan muncul konflik lahan dan hilangnya ruang hidup petani. Kini luasannya diakomodir dalam RTRW naik menjadi 13,784 hektar. Hal ini memunculkan kekuatiran dari warga.
Masry Santuli tokoh pemuda Sagea yang bersama orang tuanya Anwar Ismail, masih pertahankan tanah kebunnya, kuatir penambahan luasan kawasan industry PT IWIP itu berdampak terhadap lahan lahan kebun mereka. “Ini ancaman sangat serius kepada kami. Ancaman kehilangan ruang hidup secara massive,” katanya.
Saat ini saja lahan lahan sudah nyaris habis. Apalagi jika ada pengembangan kawasan industry ke bagian utara Weda termasuk ke desa Sagea dan sekitarnya. Di Sagea saat ini nyaris sudah tidak ada kebun. Semua lahan di tepi jalan raya antara Desa Sagea menuju Desa Waleh semua sudah habis. Bahkan kawasan hutan mangrove saja dijual ke perusahaan tambang.
Tim penulis menemukan urusan ruang hidup dan lahan di kawasan PSN Weda Halmahera Tengah muncul masalah cukup pelik. Terutama saat negosiasi pembebasan dan pembelian lahan petani.
Dalam prosesnya ada keterlibatan banyak pihak. Selain perusahaan, pemerintah desa, makelar tanah tiap desa juga ikut bermain. Para makelar bekerja sama perusahaan, mendekati petani agar menjual tanah mereka.
Di momen penting seperti jelang hari raya keagamaan. Natal Desember atau jelang puasa Ramadhan dan hari raya idul fitri, mereka memanfaatkan kebutuhan mendesak dari warga. Akhirnya banyak yang tergiur dan menjual lahan mereka. Tidak hanya makelar, staf dan aparat desa juga ikut terlibat praktik ini.
Max Sigoro (65), warga Gemaf, termasuk di antara segelintir orang yang menolak menjual lahanya kepada perusahaan. Salah satu alasan dia, karena perusahaan belum memenuhi kewajibannya membayar lahan yang mereka tawar sebelumnya.
Diacerita, saat jelang hari Natal tahun lalu, pihak perusahaan mengajukan tawaran sebesar Rp2 miliar. Mereka paham waktu seperti itu masyarakat butuh uang lebih, sehingga tawaran ini dianggap menggiurkan. Lahan milik Maks Sigoro luasnya hampir 2 hektar dilengkapi sertifikat, namun pihak perusahaan tidak mencantumkan harga per meternya.
Mereka membuat penawaran suka suka saja. Jika sertifikat tidak ada, harga akan ditentukan sepihak. Meskipun ada sertifikat, pihak perusahaan menawarkan harga rendah.
Dia mengaku lahan di sekitar kebun miliknya sudah banyak digusur, saat ini tersisa lahan miliknya. Pihak perusahaan bahkan telah melakukan pengukuran lahan tanpa sepengetahuannya, dan ketika mereka menunjukkan peta hasil pengukuran, ada selisih 3. 000 meter. Sebab ukuran yang dicantumkan perusahaan hanya 11. 110 meter. Padahal luas lahan sebenarnya adalah 14. 955 meter.
Dia tidak setuju pengukuran yang mereka lakukan. Ada pengurangan yang dianggap merugikan. Dia curiga ada permainan. Tujuannya selisih luasan itu bisa dijual kembali mereka yang lakukan pengukuran.
“Saya belum bisa menyerahkan kebun saya kepada pihak perusahaan karena masih mengandalkan hasil kebun. Sampai masyarakat Desa Gemaf sudah menyerahkan semua kebun mereka ke perusahaan, barulah saya mempertimbangkan menjual atau tidak,” ujarnya.
Petugas pengukuran itu merupakan orang perusahaan yang harusnya bekerja jujur, namun yang terjadi mereka manfaatkan untuk meraih keuntungan dengan mengalihkan selisih luas lahan yang telah diukur dengan nama pihak lain sebelum dijual ke perusahaan.
Senada dengan Max, Abner Dowongi (50 ), warga Kobe Kulo mengungkapkan pada Januari 2024, Pemerintah Desa Kulo Jaya mengadakan rapat dengan masyarakat. Mereka membahas rencana pelepasan lahan desa yang akan disewa PT IWIP seluas 7 hektar. Dalam kesepakatan rapat, perusahaan mencairkan anggaran sewa lahan yang nanti dimanfaatkan untuk bangun masjid dan gereja.
Sisanya dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk tali asih. Warga sendiri sudah tahu jika pihak perusahaan telah membayar lahan ke pemerintah desa sebesar Rp 1,5 miliar, tetapi hingga kini anggaran itu tak kunjung direalisasikan sesuai peruntukannya. “Karena itu, masyarakat bersama anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mendatangi rumah Kepala Desa Kulo Jaya, Fadli Sirajuddin, mempertanyakan pencairan anggaran itu dan kesepakatan pembagian dana seperti disepakati melalui rapat sebelumnya,” katanya. Karena tidak ada kejelasan warga kemudian datang ke kantor desa dan melakukan pemalangan.
Terkait proses jual beli lahan di sekitar PSN Weda terutama di Desa-desa ring 1 PSN seperti Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen dan Gemaf warga tidak punya dasar harga jual tanah dalam bentuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Karena itu ketika warga melepaskan hak lahan mereka kepada perusahaan, seringkali tidak diketahui secara detail luas lahan yang mereka jual, termasuk standar harganya. Informasi tersebut lebih jelas berada di Kepala Desa dan jajarannya, yang bertanggung jawab mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT).
Akhirnya warga menjual lahan kepada perusahaan, dengan harga sangat rendah, berkisar antara Rp8. 000 hingga Rp9. 000 per meter. Harga tanah ini ditetapkan oleh pemerintah daerah. Mantan Bupati Halmahera Tengah, Edy Langkara, saat menjabat Bupati periode 2017- 2022 menerbitkan SK yang menetapkan nilai tanah sebesar Rp 9. 000 per meter. Edy juga berinisiatif memediasi masyarakat dan perusahaan, yang menghasilkan pembayaran tali asih Rp 2. 500 per meter.
Hernemus Takuling, salah satu warga yang masih memiliki lahan kebun, mengungkapkan, bahwa lahan kebunnya itu adalah satu-satunya yang tersisa.
“Saya lebih memilih hidup sebagai petani dari pada bekerja di tambang. Banyak warga di sini tergiur menjual lahan karena iming-iming uang dari perusahaan. Dulu, perusahaan menawarkan harga Rp8 000 per meter untuk lahan saya, namun saya tolak dan meminta mereka membayar Rp7 miliar. Akhirnya, mereka mundur,” kisahnya.Sekarang, lahan seluas 8 hektar tersebut merupakan satu-satunya kebun yang masih ada di sekitar desa Lelilef Sawai. Sementara sebagian besar lahan warga telah terjual atau digusur perusahaan.
Hernemus mengungkapkan keprihatinannya terkait penetapan harga lahan yang dilakukan secara sepihak, bukan melalui kesepakatan bersama. “Harga tanah dilapangan bervariasi, rata-rata antara Rp 8. 000-9. 000 per meter, bahkan ada yang dihargai Rp. 6. 000 per meter.
“Contoh sederhana, saat kita beli baju. Tentu menanyakan harga kepada penjual. Di situ ada tawar menawar. Semua tergantung pemilik barang, bukan pembeli seenaknya menentukan harga dan mengambil barang. Ini yang terjadi kawasan perusahaan tambang saat ini,”ujarnya.
Hernemus bilang lahan yang diolah dan ditempati sudah ratusan tahun. Jika perusahaan tiba- tiba datang merampas, jelas harus dipertahankan. Dengan alasan memiliki izin tambang mereka berani mau menentukan harga sendiri. Dia juga cerita perjuangannya mempertahankan tanah dari kriminalisasi dan intimidasi pihak perusahaan kala itu. Akhirnya dia mendekam di penjara setahun dengan tuduhan membawa senjata tajam saat memblokade jalan menuju PT Weda Bay Nickel (WBN) 2013 lalu.
“Saya blokir jalan menuju perusahaan kala itu karena belum ada pembayaran atas pelepasan lahan. Aksi itu kami lakukan bersama 66 keluarga di desa Lelilef. Masalah lahan itu berlarut-larutsejak 2009 hingga 2013,” katanya.
Selain konflik lahan masyarakat lokal dan perusahaan makin intensif, harga tanah juga sangat rendah dari perusahaan, berkisar antara Rp. 8000 hingga Rp 9. 000 per meter. Perusahaan mengklaim harga itu sesuai peraturan yang berlaku. Lebih aneh negosiasi jual beli lahan justru terjadi antara perusahaan dan pemerintah daerah, bukan dengan wargalokal.
Masyarakat yang menjual lahan juga tidak menggunakan referensi nilai jual objek pajak (NJOP), melainkan berdasarkan SK Bupati Halmahera Tengah yang mematok harga tanah sebesar Rp. 9. 000 per meter. Bagi mereka yang memiliki lahan di kawasan hutan, perusahaan tambang cenderung menghindari pembayaran ganti rugi.
Sementara, untuk nilai jual objek pajak (NJOP) yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, hanya berdasarkan SK Bupati Halmahera Tengah yang menetapkan harga Rp 9. 000/per meter. Di sisi lain, lahan milik warga di kawasan hutan, oleh pihak perusahaan tambang enggan memberikan ganti rugi. Hal ini karena dianggap berada di area hutan produksi. Pemerintah daerah berusaha melakukan mediasi dengan perusahaan memberikan pembayaran tali asih Rp 2. 500/meter.
Warga sebenarnya menyadari pentingnya mempertahankan lahan sejak izin PT Weda Bay Nickel masuk di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Adanya konsesi ini menyebabkan mereka kehilangan akses ke lahan yang telah dikelola turun- temurun. Mereka juga kehilangan akses ke hutan untuk mencari berbagai kebutuhan. Awalnya, hanya tiga komunitas masyarakat adat Sawai di wilayah konsesi, yang terkena dampaknya yaitu Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, dan Gemaf. Namun saat ini, hamper seluruh desa suku Sawai telah masuk area konsesi.
Harga Tanah Tak Berdasar NJOP
Warga menyoal harga tanah mereka tidak dibayar berdasarkan NJOP. Padahal jika merujuk ke NJOP yang ditetapkan Pemkab Halmahera Tengah di desa lain seperti di Nusliko nilainya mencapai Rp32 ribu/ meter.
Penjelasan Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan Perbatasan Setdakab Halmahera Tengah, Sofyan Abdul Gafur, seperti dirilis media pada Maret 2020 menyebutkan bahwa, NJOP di Nusliko sebesar Rp 32 ribu. “Kita punya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Rp. 32 Ribu,’ katanya ketika merespon persoalan lahan proyek pembangunan jalan lingkar di Desa Nusliko waktu itu.
Dengan dasar ini saja jika tanah warga dibayar berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar itu, maka mereka masih bisa mendapatkan nilai jual tanah yang sesuai.
Masri Anwar, warga Desa Sagea yang juga ikut mempertahankan lahan kebun orang tuanya, menyebutkan, harga tanah di Weda Tengah sampai saat ini tidak ada kejelasan. Masyarakat maupun Pemerintah Desa tidak tahu berapa nilai tanah berdasarkan NJOP. Padahal, wilayah Weda Tengah yang berada dalam kawasan industri, memiliki harga tanah yang pasti berbeda dengan SK Bupati Halmahera Tengah saat ini. “Setiap wilayah, pasti memiliki nilai berbeda. Weda Tengah sampai ke Weda Utara ini masuk kawasan industry,” katanya.
Anggota DPRD Halteng Munadi Kilkoda bilang perusahaan dalam membebaskan lahan warga di Halmahera Tengah tidak berdasarkan NJOP. Padahal saat ini PT IWIP ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Tanah di kawasan Industri sudah bernilai strategis, sehinggahargajualtanah juga berdasarkan NJOP yang ditetapkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan nilai besar. “Sayang di lapangan pembebasan lahan warga Halteng, justru tidak berdasarkan NJOP, tapi atas dasar negosiasi perusahaan dengan warga,” katanya.
Lebih miris Pemerintah Desa bekerjasama dengan perusahaan mendorong warga menjual lahan dengan harga sangat rendah. Pemerintah desa beralasan nilai tanah per meter berdasarkan Peraturan Daerah. Negosiasi jual beli lahan bukan terjadi antara perusahaan dengan warga namun dengan pemerintah daerah.
Warga yang mengurus Surat Keterangan Tanah (SKT)_ di desa turut dikenakan biaya administrasi Rp100. 000 per surat yang diterbitkan. Terkadang bisa lebih lebih mahal. Selain itu aparat desa yang mengurusnya mendapatkan imbalan.
“Pemerintah Desa menerima pembayaran tambahan dari pihak perusahaan setiap bulannya. Rata-rata, perusahaan yang beli lahan warga memerlukan surat keterangan dari desa. Surat itu mencantumkan harga jual lahan yang ditentukan. Tanpa surat itu perusahaan tidak akan membayar lahan warga. Karena itu, Pemerintah Desa terlibat memfasilitasi perusahaan membeli lahan warga dengan harga rendah.
Mahmud Ali warga Sagea menyebutkan, sebagian besar lahan warga di belakang kampung Sagea telah dijual ke perusahaan. Sayangnya standar harga jual tanah per meternya tidak diketahui secara pasti. Harga tanah itu bervariasi mulai dari Rp7000, Rp9000, Rp 12.000 hingga ada yang Rp 20.000.
“Jadi tidak ada patokan harga yang pasti. Lahan milik saya ada standar harga tertera di dalam sertifikat yaitu, Rp25 000 per meter, tapi harga yang perusahaan tawarkan di bawah harga sertifikat, jadi kami tidak mau jual,” katanya.
Desakan agar standar harga tanah melalui NJOP ini sudah disuarakan mahasiswa Sagea dengan aksi demonstrasi. Tujuannya patokan harga tanah bisa Rp 50. 000 per meter, namun tidak terealisasi.
Mahmud bilang, Surat Keterangan Desa (SKD) membantu proses penjualan lahan, dan pemerintah desa pun akan mendapatkan jatah hingga Rp1 juta untuk setiap SKD yang diterbitkan. Tim pengukuran lahan biasanya warga lokal yang bekerja di perusahaan.
Wati Samad (46) tahun warga Sagea mengatakan, sebagian warga masih mempertahankan lahan mereka. Terutama yang masih dianggap berpotensi di masa depan. Masyarakat yang paham berusaha tidak dijual. Bahkan mahasiswa juga melakukan advokasi dan aksi meminta orang tua tidak menjual lahan yang dimiliki. Namun hal ini tidak mengubah kondisi saat ini.
Dalam pembelian lahan oleh perusahaan, harga ditentukan berdasarkan kesepakatan antarperusahaan dan warga.
Pada 23 Desember 2024, tim penulis mencoba menelusuri NJOP ini dari BPN Wilayah Maluku Utara, BPN Halmahera Tengah bahkan ke pemerintah daerah hingga kantor Pajak dan Kantor Perbendaharaan Negara untuk mengkroscek dokumen ini. Sayanganya para pihak yang ditemui terkesan berbelit-belit.
Mereka saling lempar soal keberadaan dokumen ini. Bahkan saat tim mendatangi kantor BPN Halmahera Tengah untuk mengkonfirmasi nilai NJOP juga sama berbelitnya. Beberapa staf yang ditemui beralasan para pejabat berwenang termasuk Kepala BPN Halmahera Tengah tidak berkantor. “Kami tidak bisa melayani karena para pejabatnya juga tidak ada,” kata Warno salah satu staf yang menjaga kantor BPN di Desa Nurweda, Kecamatan Weda Tengah Kabupaten Halmahera Tengah.
Setali tiga uang terkait adanya kutipan dana oleh desa saat pembayaran lahan dan ikut membantu perusahaan mempercepat proses pelepasan lahan, ternyata ada benarnya.
Plt Kepala Desa Kiyaa Taslim Abdul Hamid dikonfirmasi tidak menampik dugaan keterlibatan desa memuluskan perusahaan mengambil lahan lahan produktif miik warga. Di desa Kiya ini ada proses pembebasan lahan oleh perusahaan tambang PT IWIP dan PT First Pasifik Mining (FPM). Tetapi terjadi sebelum dia menjabat.
Dia bilang, saat itu pemerintah desa memang berperan aktif mendampingi perusahaan mengukur lahan warga dan menerbitkan surat keterangantanah (SKT). Hal ini karena dalam proses pembayaran lahan, perusahaan mewajibkan ada SKT maupun surat keterangan lahan yang dijual tidak bersengketa dari desa. “Kalau tidak ada surat dari desa tidak diproses pembayaran lahannya,” kata Taslim di kediamannya, Selasa malam (18/3/2025).
Dia juga akui kutipan dana saat keluarnya SKT dari desa. “Biasanya warga menyerahkan uang Rp1.000.000 ke pemerintahan desa. Uang itu digunakan untuk biaya operasional, alat tulis dan kertas (ATK), honor tenaga yang buat surat serta uang rokok bagi kades sebesar Rp200.000. “Kalau surat jual beli yang diberikan desa tidak dipatok harus bayar berapa,tergantung keikhlasan penjual lahan,”akunya.
Selain itu jika harga lahan terjual dengan nilainya besar hingga mendekati miliaran, biasanya ada sumbangan untuk desa. Nilainya mencapai Rp20.000.000 untuk pembangunan masjid.
Lalu apakah Pemdes juga menerima imbalan dari Perusahaan karena membantu memuluskan dan mempercepat pengambilan lahan lahan warga?
“Kalau Pemdes terima dari pihak perusahaan saya belum tahu. Yang ada itu hanya dari pihak yang jual tanah berikan ke desa,” kilahnya.
Sementara soal harga tanah yang pasti warga tidak tahu jelas. Apakah nilai jual tanah sesuai NJOP atau tidak. Sebab semua penjualan lahan di Kecamatan Weda Utara sama. Tanah yang memiliki dokumen sertifikat atau tidak nilai jualnya sama.
Pihak perusahaan memberi nilai jual tanah bukan karena berisi tanaman atau karena ada kekayaan mineral. Harga tanah itu dinilai berdasarkan topografinya. Bergunung landai atau rawa. “Saya contohkan saat PT Songhai (sebuah perusahaan asal China,red) yang punya konsesi di Sagea dan Kiyaa melakukan pembebasan lahan menggunakan spesifikasi lahan pegunungan, lahan yang datar dan berawa. Harga lahan ini tidak berbeda jauh mesti punya sertifikat. Ada yang dihargai antara Rp 9 ribu hingga 12 ribu/meter. Nilai jual lahan tidak berdasar NJOP ataupun keputusan pemerintah daerah sesuai negosiasi antara perusahaan dan pemilik lahan. Jika lobinya bagus harga bisa lebih bagus dan pastinya menguntungkan. “Kami juga bingung dengan penentuan harga lahan,” katanya.
Soal lahan warga yang telah diepas, berdasarkan dokumen yang dipegang tim penulis, sepanjang 2022 lalu pemerintah desa Desa Sagea setidaknya mengeluarkan 300 lebih SKT. Di Desa Kiya juga ada ratusan SKT dikeluarkan untuk memuluskan PT IWIP, FPM lakukan pembebasan lahan.
Kehilangan ruang hidup petani terutama kebun dan lahan produktif melibatkan banyak pihak. Hasil penelusuran tim penulis menemukan para pihak memiliki peran negosiasi dan eksekusi di lapangan guna memuluskan proses penjualan lahan.
Pengakuan AS, salah satu makelar pengadaan tanah yang berperan penting dalam penjualan tanah sejumlah desa di lingkar tambang mengaku, perannya memengaruhi warga agar lepas lahan mereka.
AS menjadi salah satu aktor penting dalam pembebasan lahan warga desa Sagea dan Kiyaa. Saat dikonfirmasi Rabu (19/3/205) malam di kediamannya tidak menampik peran tim pembebasan lahan yang dipekerjakan perusahaan baik PT IWIP, Songhai dan PT FPM memengaruhi warga.
Dia akui di setiap desa lingkar tambang, perusahaan menempatkan tim pengukur lahan serta tim pembebasan lahan. Di Sagea dan Kiyaa sedikitnya enam warga lokal atau tim khusus ditunjuk pihak perusahaan menangani pembebasan lahan masyarakat.
“Saya coordinator pembebasan lahan. Tugas utama saya mengukur lahan dan memengaruhi warga melepas lahan mereka,” katanya.
AS juga mengaku sempat menjadi karyawan di salah satu perusahaan dan masuk tim khusus yang dibentuk beberapa perusahaan itu. Dia, berperan aktif memengaruhi para petani melepas tanah dengan harga semurah mungkin.
“Jika warga tidak mau lepas lahan, tim pembebasan lahan datang setiap waktu hingga bisa terpengaruh dan dilepas/dijual. Ada banyak cara dilakukan untuk merayu dan iming-iming bahwa akan mendapatkan banyak uang,” katanya. Selain itu ada strategi lain digunakan. Yakni perusahaan membeli di sekitar lahan warga yang tidak mau dijual. Tujuanya agar mereka sulit pergi ke kebun. Jika sudah begitu mereka pasti lepas tanah. “Karena pasti sudah sulit ke kebun,” katanya.
Dugaan warga, tim yang dibentuk pihak perusahaan saat proses pembebasan lahan sering kali ikut bermain mengurangi luasan lahan warga. Misalnya saat mengukur lahan menggunakan alat, tidak diukur dari batas- batas lahan. “Tim pengukur banyak bermain, kalau ukur lahan warga, biasa dikurangi, nanti sisa lahan pengukuran dijual kembali oleh tim.
Dia bilang lagi, dalam proses pengukuran lahan, juga melibatkan pihak perusahaan dan pemerintahan desa. Hal ini karena diberikan mandate langsung oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah mengawal pembebasan lahan.
“Biasanya dalam pengukuran, pihak perusahaan yang turun langsung bersama Pemdes. Setelah pengukuran, Pemdes mengeluarkan surat keterangan tanah. Setelah itu baru dilakukan pembayaran,” tandasnya.
Mengenai harga jual lahan diakui tidak berdasarkan aturan yang ditetapkan Pemerintah. Nilai jual lahan tergantung negosiasi pemilik lahan dengan pihak perusahan. Jika warga bisa mempertahankan lahan dengan harga yang diinginkan pihak perusahaan membayarnya.
“Sebaliknya jika dianggap terlalu tinggi diminta oleh pemilik lahan, maka tidak akan diproses. Kita tahan dulu sampai dia mau jual dengan harga murah. Saat pembebasan lahan dan pembayaran akan dilihat lagi posisi lahan. Ada tiga kategori yaitu tanah berawa, di pegunungan dan di wilayah datar,” katanya.
Soal pembebasan lahan, pihak PT IWIP memberikan tanggapan. 6 pertanyaan yang diajukan secara tertulis oleh tim penulis melalui media relation PT IWIP. Pertama pertanyaan dilayangkan pada 23 Maret 2025, namun belum juga ditanggapi. Tim penulis kembali mengirimkan daftar pertanyaan pada 16 April 2025 dan ditanggapi pada 28 April 2025.
Tim penulis menunggu cukup lama untuk mendapatkan tanggapan.
Melalui Setya Yudha Indraswara Manajer Komunikasi PT IWIP menjelaskan, proses pembebasan lahan yang dilakukan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) selalu mengikuti regulasi yang diatur Pemerintah Republik Indonesia. Penentuan nilai lahan yang dibayar berdasarkan Surat Keputusan Bupati Halmahera Tengah nomor 970/KEP/153/2018 tentang Klasifikasi dan Penetapan Besarnya NJOP Atas Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan. Dia bilang nilai pembebasan lahan dapat meningkat dengan penambahan nilai tanaman yang terdapat di lahan tersebut. “Selama proses pengukuran dan pembebasan lahan, tidak ada pemaksaan maupun tindakan pengurangan ukuran secara sepihak. Setiap pengukuran lahan selalu dilaksanakan bersamasama antara pengelola lahan, staf desa, dan perwakilan perusahaan,” katanya. Dia bilang lagi hasil pengukuran juga memerlukan kesepakatan antara ketiga pihak tersebut, sebelum proses dilanjutkan. Penjelasan ini berbanding terbalik dengan pengakuan warga.
Regulasi Tak Jamin Ruang Hidup Masyarakat Aman
Problem ruang hidup dan tanah di lingkar PSN sempat diteliti beberapa lembaga salah satunya Transparansi Internasional (TII). Riset berjudul “Laporan Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya–Studi Kasus di Halmahera Timur dan Tengah 2024 itu tim peneliti mengungkapkan bahwa, perusahaan yang telah mendapat izin beroperasi di “tanah negara” tidak ada hubungan langsung dengan hak masyarakat sekitarnya. Karena itu meskipun ada lahan dan kebun milik masyarakat di atas wilayah konsesi itu, tanah diwariskan turun- temurun lebih dari 20 tahun sekalipun tetap tidak diakui sebagai hak milik pribadi.
Penelitian dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate dipimpin Rusdin Alauddin dan rekan-rekan pada 2016, yang meneliti sengketa lahan akibat kegiatan pertambangan nikel di Maluku Utara, menunjukkan konflik lahan dengan pelaku usaha pertambangan sulit dihindari bahkan cenderung meningkat karena berbagai faktor.
Dalam hal regulasi misalnya dari tingkat nasional hingga lokal tidak menjamin penyelesaian masalah lahan secara efektif. Masyarakat sering kali jadi korban ketidakadilan yang muncul dari produk hokum yang dihasilkan.
Keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha juga makin memperburuk posisi masyarakat, menjauhkannya dari keadilan yang harusnya mereka terima. Perasaan ketidakadilan itu membuat warga apatis ketika membahas kesejahteraan dan kemakmuran yang seharusnya dihasilkan dari perusahaan di daerah mereka.
Kurangnya perhatian dari pelaku usaha dan pemerintah juga berdampak pada penolakan masyarakat, yang terkadang berujung tindakan anarkis, merugikan tidak hanya warga, tetapi juga perusahaan dan pemerintah.
Ada beberapa penyebab konflik lahan antara pelaku usaha dan masyarakat. Studi itu menunjukkan besaran ganti rugi lahan merupakan permasalahan utama. Ada 49% responden merasa dirugikan karena kompensasi tidak sesuai harapan. 20,67% responden mencatat adanya tumpang tindih kepemilikan lahan menjadi penyebab konflik. Beberapa pihak mengklaim hak atas sebidang tanah yang sama.
Permasalahan ganti rugi tanaman juga menjadi titik persoalan. 10% responden melaporkan keberadaan perusahaan tambang menimbulkan konflik, terutama karena banyak tanaman warga belum mendapatkan ganti rugi yang layak.
Permasalahan ini umumnya terjadi di kawasan pertambangan PT. WBN/IWIP di Kabupaten Halmahera Tengah.
Selain itu sengketa batas wilayah dan kurangnya komunikasi juga masalah yang signifikan. Tidak hanya terjadi antara Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tetapi juga antardesa.
Terakhir, tanggung jawab social perusahaan (CSR) juga teridentifikasi, belum dijalankan dengan baik dan benar.
Riset ini merekomendasikan agar pemerintah daerah meninjau regulasi di bidang pertanahan, khususnya penentuan besaran ganti rugi lahan untuk masyarakat.
Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan kepentingan masyarakat lokal, terutama yang tinggal di sekitar lokasi tambang. Perlu dilakukan sebelum izin diberikan kepada pelaku usaha pertambangan. (*)
Tinggalkan Balasan