Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah pada 5 September 2024 lalu telah mengesahkan perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah 2012-2032 menjadi Perda nomor 3 Tahun 2024. Masa berlaku Perda Perubahan tersebut hingga 2043 mendatang, yakni hingga 2032 mendatang.
Perubahan Perda ini merupakan kebijakan secara nasional sebagai amanat Undang-undang penataan ruang Kawasan Industri yang baru. Selain adanya Undang-undang Cipta Kerja (Omnibuslaw) yang mengharuskan perubahan RTRW secara menyeluruh di Indonesia termasuk Maluku Utara. Proses dimulai sejak 2019 lalu. Namun terkendala covid 19 sehingga perubahannya dirampungkan pada 2024 lalu.
Ada beberapa alasan pada saat itu sehingga Perda RTRW diubah diantaranya karena perencanaan ruang harus disesuaikan kembali kebijakan pemda terutama karena ada beberapa kebijakan strategis. Lalu berikut, karena ada PSN IWIP, yang kalau berdasarkan Perda No 1. Pengembangan KI itu tidak berkesesuaian dengan Perda RTRW yang berlaku, sehingga dilakukan perubahan untuk disesuaikan dengan PSN dan KI yang sudah ditetapkan Pemerintah pusat.
Saat ini kawasan industry IWIP luasannya mencapai 4. 027,67 hektar. Sementara luasan kawasan industry sebagaimana ditetapkan dalam perubahan Perda RTRW No 3 Tahun 2024 termaktub dalam Bab VI tentang Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten, Paragraf 6 pasal 38 (1) yang membahas Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf e, mengalami penambahan luasan menjadi 13. 784 hektare. Kawasan industry ini berada di Kecamatan Weda Tengah; Kecamatan Weda Timur; dan Kecamatan Weda Utara. Peruntukan industry sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah Kawasan Industri Weda Bay.
Untuk kawasan industry perusahaan sebenarnya mengusulkan penambahan lahan mencapai 15.517 hektar. Namun diakomodir dan tertuang dalam RTRW perubahan seluas 13.784 hektar. Perluasan ini, oleh pemerintah daerah dianggap sebagai bagian dari menindaklanjuti kebijakan nasional untuk pengembangan Kawasan Industri Teluk Weda, yang tercantum dalam RPJMN.
Perluasan kawasan industry sebagaimana tercantum dalam RTRW perubahan dikuatirkan akan semakin mengancam kehidupan warga. Terutama lahan perkebunan dan kawasan perlindungan lain. Saat ini saja lahan pertanian dan perkebunan terutama di daerah lingkar kawasan industry seperti Desa Lelilef, Gemaf dan Sagea sudah tergerus. Di ujung Selatan Desa Gemaf yang dulunya memiliki kawasan hutan mangrove kini telah berubah menjadi pusat kawasan indusrtri.
Di Sagea misalnya, hutan sagu yang menjadi cadangan pangan warga telah masuk konsesi izin tambang. Hutan sagu yang oleh warga Sagea mengenalnya dengan aha sagu yang berada tidak jauh dari kampung telah masuk konsesi tambang. Luasan Kawasan hutan sagu ini diperkirakan mencapai 50 hektar.
Sementara perkebunan kelapa dan pala milik warga Sagea, sebelum ditetapkan masuk kawasan industry saja, sudah nyaris habis. Di desa ini 7 warga masih mempertahankan perkebunan mereka. Selain dari itu lahan sudah dijual ke perusahaan. Terutama lahan perkebunan di dekat kampung dan tepi jalan raya.
Di Desa Lelilef Sawai terdapat satu petani bernama Hernemus Takuling (60) yang menyisakan lahan kebunnya kurang lebih 8 hektar. Hernemus pernah dipenjara karena mempertahankan lahannya pada 2013 ketika awal masuk PT Weda Bay Nickel (WBN). Dia masuk penjara kala itu karena memimpin 66 warga memblokade jalan perusahaan PT WBN kala itu menuntut pembayaran ganti rugi lahan yang sesuai permintaan warga.
Di Desa Gemaf ada Max Sigoro (65) belum menjual lahan kebunnya. Max hingga kini masih mempertahankan kebunnya. Di desa Sagea dari 7 warga petani salah satunya adalah Anwar Ismail (69 tahun) masih mempertahankan kebun seluas kurang lebih 5 hektar. Lahan tak jauh dari Desa Sagea.
Anwar mengaku masih mempertahankan lahanya meskipun di sekelilingnya pemiliknya telah menjual lahan ke perusahaan tambang.
Anwar mengaku tetap mempertahankan lahan kelapa, pala, dan cengkeh itu karena nanti diwariskan kepada anak cucu.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halmahera Tengah Munadi Kilkoda mengakui pengajuan perubahan RTRW Halmahera Tengah itu diajukan sejak masa kepemimpinan Bupati Edi Langkara sekira 2018. Hanya saja pembahasannya terkatung-katung, karena ada masalah tapal batas yang belum diselesaikan. Kata dia kala itu DPRD Halmahera Tengah masih berpegang pada Undang- undang yang mengatur tapal batas.
Namun proses pembahasan ini dikebut saat Halteng dipimpin Plt Bupati Halmahera Tengah Ikram Malan Sangadji. Ikram sendiri dilantik menjadi Plt Bupati menggantikan Edy Langkara yang telah memasuki akhir masa jabatannya pada Senin (26/12/2022) oleh Gubernur Maluku Utara (alm) KH. Abdul Gani Kasuba yang menjabat kala itu.
Dia dilantik berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 100. 2.1.3. -6272 tahun 2022 tentang pengangkatan penjabat bupati Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara. Ikram setelah dua tahun menjabat, masa jabatannyakembali diperpanjang hingga Pilkada 2024.
Di saat yang sama dia maju mencalonkan diri sebagai calon Bupati Halmahera Tengah. Saat kontestasi Pilkada 27 November 2024 lalu, Ikram M Sangadji berpasangan dengan Ahlan Djumadil bersaing dengan mantan Bupati Edy Langkara berpasangan dengan Abdurahim Odeyani, serta Mutiara Yasin berpasangan dengan Salim Kamaludin. Dalam Pilkada ini, Ikram M Sangaji dan Ahlan Jumadil terpilih menjadi bupati dan wakil bupati periode 2024 2029. Bupati dengan akronim (IMS-ADIL) itu dilantik secara serentak oleh Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Negara pada Kamis (20/2/2025).
Dalam perubahan dokumen RTRW ini, Munadi bilang, Ikram ngotot mendesak agar DPRD segera mempercepat perubahan Perda RTRW 2012-2032 yang akhirnya disahkan menjadi Perda Nomor 3 Tahun 2024-2043.
Desakan ini agar RTRW mengakomodir kepentingan usulan penambahan luasan kawasan industry Weda. “Pejabat Bupati kala itu terlibat secara langsung mendorong agar ada perluasan kawasan industri. Dia beberapa kali mengundang pihak IWIP terlibat dalam rapat-rapat soal RTRW. Saya pernah protes meminta pihak IWIP tidak diikutkan dalam rapat pembahasan RTRW,” aku Munadi Kilkoda Wakil Ketua DPRD Halteng awal Desember 2024 lalu.
Dia bilang lagi, dalam pembahasan revisi RTRW tersebut ada yang tidak beres. Sejumlah anggota DPRD Halteng yang awalnya menyepakati perubahan luasan kawasan industry Weda dari sebelumnya hanya 4000 ribu hektar lebih bertambah menjadi 8 ribu, namun setelah ada pertemuan DPRD dengan pihak PT IWIP di Ternate, luasan kawasan industry berubah seperti dibahas sejak awal.
Belakangan diketahui pihak IWIP meminta perluasan kawasan Industri sampai 15 ribu hektar. Tapi dari usulan, difinalkan dan masuk dokumen Perda Nomor 3 2024-2042, seluas 13. 784 hektar.
“Saat pembahasan hingga diubahnya luas kawasan industry seluas itu tidak melibatkan saya. Padahal saya termasuk anggota Bapemperda Halteng,”katanya.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah melalui mantan Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pembangunan Daerah (Bappelitbangda) yang kala itu dipimpin Salim Kamaluddin, beralasan Pemda Halteng ikut mendorong kawasan industry ini untuk pemerataan dan keadilan ekonomi.
Di Kecamatan Patani waktu itu mereka berpikir usul cadangan kawasan industri seluas 5 ribu hektar. Alasannya agar wilayah seperti Kecamatan Patani juga turut berkembang seperti di Weda. Karena itu ada usulan penambahan kawasan Industri di situ. “Sifatya hanya usulan saja, jika ditolak maka ditiadakan,” katanya.
Usulan penambahan kawasan industry dalam revisi RTRW ini diakui, melibatkan semua pihak, baik Pemerintah Daerah maupun DPRD. Dia bilang penambahan kawasan Industri ini sebenarnya bermula dari permintaan DPRD Halteng, sehingga Pemda turut mendorongnya. Semua pihak disebut terlibat mendorong revisi RTRW ini.
“Kalau ada yang bilang ada indikasi titipan luasan lahan wilayah industry seluas 5 ribu hektar itu informasi menyesatkan,”kilahnya.
Sementara soal massive-nya pembebasan lahan di Weda Tengah, Weda Timur; dan Kecamatan Weda Utara Halmahera Tengah dia bilang warga yang berkeinginan menjual lahan mereka. Proses pembebasan lahan biasanya perusahaan menyurat ke Pemda, setelah itu Pemda mengumpulkan pemerintah desa, untuk memastikan pembebasan lahan berjalan lancar. Termasuk lahan yang dijual warga benar- benar tidak bermasalah.
Berdasarkan dokumen Studi AMDAL Rencana Kegiatan Pengembangan Kawasan Industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park yang dipresentasikan di Ternate pada 17 November 2023, PT IWIP berencana melakukan perubahan dan penambahan beberapa kegiatan di dalam area kawasan industry PT IWIP. Dalam dokumen tersebut disebutkan hal ini sesuai dengan rencana induk kawasan industry.
Rincian rencana kegiatan pengembangan kawasan industri PT IWIP itu yakni, pengolahan dan pemurnian (smelter,red) feronikel dari 70 lines menjadi 80 lines. Pabrik
Sesuai jadwal kegiatan pengembangan kawasan industry sebagaimana tertuang dalam dokumen study AMDAl itu akan dilaksanakan hingga Mei 2026 nanti.
Halteng Dulu Kaya dari Pertanian dan Perkebunan
Kabupaten Halmahera Tengah sebelum massivenya tambang nikel seperti sekarang, dikenal sebagai salah satu daerah pertanian dan perkebunan, kelapa, pala, cengkih dan kakao. Daerah ini juga memiliki beberapa kawasan transmigrasi sebagai lumbung pangan Halmahera Tengah.
Luas Halmahera Tengah mencapai 227.683 hektar. Namun saat ini luasan lahan itu terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar. Dari luasan itu, sekitar 60% sudah masuk industri tambang. Ada WBN dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perusahaan ini adalah patungan tiga investor asal Tiongkok Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Kawasan IWIP merupakan perusahaan besar yang menguasai lahan di Weda Utara dan Weda Tengah. Selain itu ada juga PT Takindo Energi, PT First Pasific Mining, PT Zong Hai, PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN).
Data BPS Halmahera Tengah 2015 menunjukan, luas perkebunan pala ada 11. 098,50 hektar. Kelapa 10.246,00 hektar, cengkih, 1.490,00 hektar, dan kakao 3.436,00 hektar. Di Weda Tengah yang sekarang menjadi pusat industry nikel, luas lahan pala mencapai 253,00 hektar. Kelapa 830,00 hektar, cengkih 70,00 hektar kakao 361,00 hektar.
Sementara jumlah produksi perkebunan kelapa dan pala lima tahunan sejak 2018 hingga 2022 berdasarkan data BPS menunjukan trend penurunan. 2018 Kelapa : 10.321 ton, pala 13.312. Pada 2019 kelapa ada 8.765,2 sementara pala tidak terdeteksi. Pada 2020 produksi kelapa : 8.097 ton dan pala 1.807,3.
Produksi perkebunan pada 2021 kelapa : 7.874,0 ton dan pala : 1.828,71 pada 2022 produksi kelapa : 1.835,0 ton dan pala 1.485,0 ton.
Pada 2020, Dinas Pertanian Halmahera Tengah merilis panen padi di Desa Woejerana Weda Tengah salah satu desa lumbung pangan di Weda Tengah mencapai 147,28 ton. Pada 2021, panen petani turun drastis jadi 81 ton. Penurunan ini terjadi karena banjir yang merusak tanaman petani. Desa yang berada 38 kilometer dari Kota Weda ini sebelumnya jadi penyokong pangan Halmahera Tengah dan beberapa kabupaten di Maluku Utara.
Kini, kondisinya berubah, sejak banjir bandang besar menerjang desa ini 2020 dan 2021 lahan pertanian rusak tertimbun lumpur. Sejak terdampak banjir sawah jadi semak. Ada dugaan warga banjir terjadi karena hutan di hulu sudah jadi areal tambang nikel. Desa berpenduduk 256 keluarga yang berasal dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat itu masuk Halteng sejak 1991 lalu. Desa ini dulunya lumbung pangan. Tapi kini jadi wilayah pelepasan lahan untuk PT IWIP.
Tinggalkan Balasan